KARYA
ILMIAH
BAHASA
INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSA
Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan
bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar
menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang
tidak resmi masyarakat Indonesia
Secara sejarah, bahasa
Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur
maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek
temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara
sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap
"lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928.
Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi
diakui keberadaannya
Peristiwa-peristiwa
penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa
Melayu. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja
Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Tanggal 28
Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan Indonesia. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan
sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai PujanggaBaru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tahun 1936 Sutan
Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Tanggal 25-28
Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Tanggal 18
Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945. Tanggal 19 Maret
1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen
yang berlaku sebelumnya. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto.
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia
IV di Jakarta. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia V di Jakarta. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Tanggal 26-30 Oktober
1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta.
Fungsi Bahasa Indonesia
Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain
merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa nasional, bahasa Indonesia
(selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:Lambang kebanggaan nasional. Lambangidentitasnasional,
Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budayabahasa.
Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat Pembinaan dan
pengembanganBahasa,1975:5). Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai
lambang identitas nasional, teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah
(selanjutnya disingkat BD) sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya
diakui di dalam UUD 1945.
Indonesia terdiri dari
berbagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku
bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan
seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain; juga merupakan kenyataan yang
sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi masalah serius, seperti terjadi di Sambas,
dan beberapa daerah lain. pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan sukubangsa
lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika
mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi. Arus globalisasi
tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia
sejagat.
Persoalan lain yang terjadi
dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan atau antara etnisitas dan
nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan
untuk mempertahankan identitas etnis dan agama. Sejatinya keberadaan
masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai
pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis
itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya
lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara toleransi
menjadi lebih terbuka.
Menempatkan kesusastraan
Indonesia sebagai pintu masuk menuju pemahaman pluralitas budaya dan
keberagaman etnik masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa
alasan. Selain persoalan konflik etnik dan agama yang perlu segera mendapat
penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah yang berlebihan hendak
mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka (ethnonationalism)
dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan
Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat
atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman keberagaman etnik dengan
pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut, tak
berlebihan jika gagasan ini dicobakan.
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, Sejarah Bahasa
Indonesia, Melayu Globalisasi Identitas Bangsa, Identitas Budaya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai
masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan
identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola
kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal,
dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi
bahasa baik secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah satu
identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa
bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang
menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya bahasa persatuan
yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis bahasa
Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda
kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi
bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.
Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang
memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa Inggris (Amerika),
atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair
yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya
bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu.
Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian
yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas
negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi
paling penting untuk mempersatukan seluruh bangsa. Oleh sebab itu, merupakan
alat mengungkapkan diri baik secara lisan maupun tulisan, dari segi rasa harsa
dan cipta serta piker baik secara efektif dan logis. Semua warga negara
Indonesia harus mahir dalam menggunakan Bahasa Indonesia karena itu merupakan
kewajiban bergaul di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu kita harus
memajukan kepribadian Indonesia di dalam maupun di luar negeri. Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus
karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan
diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman
etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek
misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek
Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal
ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan/EYD)
dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi
titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya
dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole
adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan
berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV swasta yang
menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan
mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.
Kepribadian Indonesia dapat tercipta dari
kemahiran berbahasa Indonesia, bagi mahasiswa Indonesia semua itu dapat
tercermin dalam tata pikir, tata tulis, tata ucapan dan tata laku. Berbahasa
Indonesia dalam konteks Ilmiah dan Akademis, sebagai mahasiswa harus lebih
dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar supaya negeri ini bisa
tetap utuh terjaga.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang dijabarkan
di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
“Bahasa
Indonesia Sebagai Identitas Kebersamaan Bangsa”
C. Tujuan Program
D. Metode
Penelitian
Dalam melakukan menulis karya tulis ini
penulis menggunakan buku Bahasa Indonesia Untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah, sebagai
acuan dalam pembahasan masalah dan situs-situs pendidikan di internet sebagai
sumber pembahasan masalah.
E. Kegunaan Program
Dengan adanya karya tulis adalah supaya
mengetahui dan memahami sejarah perkembangan bahasa indonesia dan bahasa
indonesia sebagai identitas dan penyatu bangsa, sehingga dalam kehidupan
bermasyrakat dapat menggunakan bahaa Indonesia yang baik dan benar, menjaga
keutuhan bahasa Indonesia sebagai kebudayaan dan identitas nasional di era
globalisasi ini dan mengetahui pentingnya bahasa indonesi di mayarakat luas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca
di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan
modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini
sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi
kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai
bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi,
disebut Melayu Tinggi yang pada
masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih
sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif
Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat
kelenturan Melayu Pasar dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda
berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya
dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka.
Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam
berkomunikasi.
1.
Melayu Kuno
Berbagai batu bertulis
(prasasti) yang ditemukan itu seperti:
Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa
Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu
Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat
pula dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di
Sumatra, melainkan juga dipakai di Jawa.
Penelitian linguistik
terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa
Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan.
2.
Melayu Klasik
Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14,
bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana
ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
3.
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia
kemudian digunakan sebagai lingua
franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang
menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah
yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago
bahwa "penghuni Malaka telah
memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling
elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling
indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa
yang digunakan di seluruh Hindia Belanda."
Jan Huyghen van
Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa
"Malaka adalah tempat
berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan
mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik
dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang
menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya
yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di
antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."
Bahasa Indonesia modern dapat
dilacak sejarahnya dari literatur Melayu Kuno. Pada awal abad
ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda
mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di
bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson. Bahasa
Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas
usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli
sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan bahwa : "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa
yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa
diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua
bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan
atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan
bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau,
seperti Marah
Rusli, Abdul
Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam
Effendi, Idrus,
dan Chairil
Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata,
sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan
bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar
menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang
tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing
sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa,
bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia
lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa
Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa
Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan
pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga
sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun
penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku
dari bahasa
Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa
Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah.
B. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa
Indonesia
1. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa
Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan
sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor
de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah
menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan
novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku
penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit
membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja
Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk
pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa
Indonesia.[5]
4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad
Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana
menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan
penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen
yang berlaku sebelumnya.
10. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini
merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan
bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai
bahasa negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto,
Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang
dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh
wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan
dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan
kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga
berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
14. Tanggal 21-26 November 1983
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini
diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam
putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus
lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal
mungkin.
15. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri
oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan
peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam, Malaysia,
Singapura,
Belanda, Jerman, dan Australia.
Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
16. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770
pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi
Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia,
Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa
Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan
Bahasa.
C. Fungsi Bahasa Indonesia
Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena
sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan
paradigma pada pendekatan fungsionalisme. "Fungsionalisme sebagai
perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan
organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai
sistem organisme, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling
berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas,
integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka
semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya
memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat
bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya
itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem
lain tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang
antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper,
1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan
integrasi sistem sosial-budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur
yang menjadi bagian dari sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu
unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka
sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan
terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata
uang, atau penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi
juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap
terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu
menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh
unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.
Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini
adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam
keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu
menjelaskan adanya perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini
wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan
kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu
negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa,
wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur
negara yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila
Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu
memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau
identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem
sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena
tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka
gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada
bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang
memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa
yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari
sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi
atau distabilitas sistem negara.
Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa
Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau
negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada
sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau
menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku
akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga
identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari
merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa
Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia.
Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan
bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan
bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
Fungsi Bahasa
Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta,
antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa nasional, bahasa
Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:
1) Lambang kebanggaan nasional.
2) Lambangidentitasnasional,
3) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda
latar belakang sosial budayabahasa.
4)
Alat
perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat Pembinaan dan
pengembanganBahasa,1975:5).
Beriringan dengan
pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas nasional, teraktualisasikan
pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya disingkat BD) sebagai lambang
identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD 1945 yang secara
bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa
tidak ada persaingan antara BI dan BD. Oleh karena itu, pemerintah tidak
ragu-ragu mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang memberikan peluang bagi
sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah masing-masing.
D. Sastra
Indonesia Sebagai Identitas Budaya
Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,
menegaskan pernyataan sikap para pemuda Indonesia: “bertumpah darah yang satu,
tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia,” saat itulah identitas etnis –diwakili Jong Java,
Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong
Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan
Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –diwakili Jong Islamieten—melekat dalam
semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu
–sebagai bahasa etnis— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik
keindonesiaan, dan tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak
dengan keanekaragaman kultur dan bahasa, mulai dipersatukan melalui klaim
kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), nasib bangsa yang terjajah, dan
persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Tentu saja klaim
kesadaran keindonesiaan para pemuda waktu itu dalam konteks kebangsaan yang
bersifat politis, dan tidak dalam hubungan kultural. Meski begitu, dalam
lampiran hasil keputusan kongres pemuda itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan
Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan semangat “kemauan, sejarah, hukum adat,
serta pendidikan dan kepanduan.” Di mana kultur etnik ditempatkan, apakah yang
dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam konteks etnisitas,
mengapa kebudayaan (etnik) tidak eksplisit dijadikan sebagai landasan semangat
persatuan keindonesiaan?
Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia,” mestinya punya makna penting sebagai alat
perekat. Pasalnya, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi
lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara ini. Jadi, de facto, bahasa
Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana
untuk saling mengenal lebih dekat keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi
bahasa, di antaranya adalah untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial?
Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah sesungguhnya terbuka lebar
peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka
keindonesiaan.
Meskipun demikian, dalam perjalanannya,
peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu,
seperti diabaikan begitu saja. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba
saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat.
Alisjahbana juga sama sekali tidak menyinggung kebudayaan etnik, lantaran ia
terperangkap oleh pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional
(kebudayaan Indonesia lama) dan modern (kebudayaan Indonesia baru).
Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama,
untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam berabad-abad di
lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah
masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang
baru.” Selanjutnya, dikatakan pula, “… dalam zaman jarak menjadi dekat dan
watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin terbang ini,
Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan
kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada
kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…”
Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang
lain yang kemudian menjadi Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi
penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan
sendiri, dan di lain pihak, memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang
bagi Alisjahbana, mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan
kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu,
menurut Alisjahbana, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa
lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!
Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana
masih menyatakan, bahwa “Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih
banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,”
ia sama sekali tak melihat –bahkan tidak menyinggung— signifikansi kebudayaan
daerah (etnik) sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan
begitu, kebudayaan etnik pun, bagi Alisjahbana, sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan
Alisjahbana menafikan keberadaan kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan
dengan tuntutan semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya
semata-mata atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalannya
dari bangsa lain. Atau, sangat mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata
atas kebudayaan etnik. Justru di situlah sesungguhnya sumber masalah yang
menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti
perjalanan waktu, dan seolah-olah kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja
secara serempak, tanpa keterlibatan –atau tanpa perlu melibatkan— ihwal kultur
etnik.
Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah:
apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang
baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah
yang menyerap pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga
ternyata sama sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang
ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan
tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan semati-matinya atau
justru dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh
jadi dihadapi oleh para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD
1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu
apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula
rumusannya. Hanya, di dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa
“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai
kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya,
dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kembali, penjelasan yang semestinya
mendudukkan konsep kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan
(puncak-puncak) kebudayaan daerah dalam pengertian yang lebih terang, justru
menimbulkan persoalan, karena tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai apa
yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan pernyataan puncak-puncak kebudayaan
daerah sebagai kebudayaan bangsa, menafikan sebagian keberadaan kebudayaan
daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Atau, mengidentifikasikan kebudayaan
daerah sebagai kebudayaan nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu
saja mengingat keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah dan
kebudayaan nasional masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara
gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada
pekerja budaya yang justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu
saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah.
Rumusan yang berbau hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran
bahwa sesungguhnya kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari
hubungannya antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).
Penafikan kebudayaan daerah sebagai
kebudayaan yang lahir dari rahim etnik kesukubangsaan, juga muncul dalam
semangat yang melandasi para seniman dan budayawan yang tergabung dalam
“Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam pernyataan sikap berkebudayaannya yang
dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”, mereka cenderung menempatkan
kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tak
ada usaha untuk mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan kutipan
beberapa penggalan Surat Kepercayaan Gelanggang berikut ini.
Kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatanuntukkebudayaanIndonesia.Kalau kami
berbicara tentang kebudayaan Indonesia,kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai
rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang kemudian
dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.
Lihatlah elan yang dikumandangkan para
seniman yang belakangan dicap sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “ahli waris yang
sah dari kebudayaan dunia” dan “Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan
berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia”
menegaskan orientasi mereka pada kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu
tidak lain merupakan kebudayaan Barat.
Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami
berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama,” mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan
etnik yang sebenarnya sejak mereka lahir sudah nemplok dengan sendirinya.
Pertanyaannya kemudian: mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja
–bahkan ditiadakan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran
kebudayaan etnik. Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan
dan memahami identitas kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah
menolak kebudayaan masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan
kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang itu, mesti berangkat atau
bersumber dari kebudayaan masa lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan
etnik. Tanpa itu, kita akan tetap terjebak pada perumusan yang mengawang-awang
dan tidak membumi.
Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar
hendak menegaskan kembali, betapa rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia
yang selama ini kita terima, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan
daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan
kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada
konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang, melainkan pada cara pandang dan
pemahaman yang bersifat praksis.
Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik
yang sekadar disajikan dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian
tertentu, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana yang banyak
disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang
filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang
melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu
sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau
konsep tentang kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat
memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya. Dalam hal itu,
barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita
dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam
budaya etnik. Dengan kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam
menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan kita
dalam lingkup keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur etnik mana pun,
sedikitnya dapat membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan yang
proporsional, bahwa kultur etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini
sesungguhnya merupakan bagian dari diri kita, dan bagian dari milik kita
sebagai warga Indonesia.
Di dalam kerangka itulah, kesusastraan
sebagai “potret” budaya sebuah komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan
kegelisahan kultural pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan sebagai salah
satu sarana mencapai tujuan itu. Bukankah kesusastraan merupakan hasil evaluasi
kritis atas problem sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari
diri seorang pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan,
sistem nilai atau segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia justru
merepresentasikan semangat atau kegelisahan yang berkaitan erat dengan
kebudayaan yang telah melahirkan, membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi
diri pengarang.
Kesusastraan Indonesia, secara kultural
pada awalnya adalah kesusastraan ‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai
sastra yang ruhnya berasal dari kultur etnik, ia tak terlepas dari berbagai hal
yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga
tidak terlepas dari latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkannya.
Sebagai anggota kelompok sosial atau
sukubangsa, sastrawan mengusung sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat
dan nilai budaya kelompok sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu
diejawantahkan dalam bahasa Indonesia, masalah etnik yang melingkarinya tadi,
tiba-tiba seperti dianggap selesai, atau diperlakukan seolah-olah tidak ada
hubungannya dengan kultur etnik. Problem budaya sukubangsa, latar belakang
etnik, mendadak lenyap begitu saja ketika ia menggunakan bahasa Indonesia.
Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di dalam kerangka Sumpah Pemuda
sebagai pernyataan “menjunjung bahasa persatuan”. Di dalam kemajemukan
masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah kenyataan. Tentu saja tidak
serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman, hanya lantaran ia menggunakan
bahasa yang sama: bahasa Indonesia.
Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung
soneta dan berbicara tentang “Tanah Air” (1922) dan “Indonesia Tumpah Darahku”
(1928), semangat pantun diperlakukan sekadar sebagai bentuk, dan bukan jiwa
atau ruh yang mengilhaminya. Demikian juga, ketika novel-novel awal Balai
Pustaka terbit, masalah kawin paksa seolah-olah muncul sebagai tema sentral.
Lalu, kemanakah semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri (kultur)
orang Minang? Periksalah, dalam hampir semua novel terbitan Balai Pustaka masa
itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak pernah lepas dari semangat pengelanaan
(merantau). “Konsep merantau menurut alam pikiran Minangkabau ialah untuk
menimba segala sesuatu yang tidak mereka dapati di alam tradisional. Perantauan
adalah sumber dari sesuatu yang baru .…” Bukankah itu merupakan representasi
kultur Minangkabau?
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana
menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional (: kultur etnik) –sebagai masa
lalu—yang harus mati semati-matinya, dalam kenyataannya, pernyataan itu sekadar
slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya, justru banyak pula
memuat berbagai tulisan yang mengangkat kebudayaan tradisional (kultur etnik)
atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana
menganjurkan agar bangsa Indonesia berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak
menolak dan membiarkan orang berbicara tentang berbagai pemikiran yang
berkaitan dengan kebudayaan tradisional (: kebudayaan daerah). Oleh karena itu,
suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan
Pujangga Baru mengingat tidak sedikit di antaranya –termasuk Armijn Pane dan
Amir Hamzah— yang tidak mau meninggalkan kebudayaan etnik yang telah melahirkan
dan membesarkannya itu.
Masalah yang sama, juga terjadi pada
seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamasikan sikap berkeseniannya
lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang,
hanya Chairil Anwar yang melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan
Barat. Tetapi Chairil Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia justru
menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti
dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia
baru akan menjadi kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.”
Chairil Anwar memang wakil generasi itu.
Tetapi di sana masih ada Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer,
Achdiat Karta Mihardja, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak
dapat dikesampingkan begitu saja. Maka, kita dapat melihat, pernyataan
“melap-lap kebudayaan lama” justru telah diterjemahkan dalam sejumlah karya
mereka sebagai penggalian pada sumber tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata
masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari Ibu”) dan melakukan pengelanaannya
dalam semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer (Bukan Pasar Malam) menguak
secara kritis feodalisme Jawa, Sitor Situmorang mengusung eksistensialisme
dalam kegamangan berhadapan dengan kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta
Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian masyarakat Sunda berhadapan dengan
rasionalitas agama. Dengan demikian, pernyataan “ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan dalam kaitannya atau dalam
berhadapan dengan kultur etnik.
Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat
kebudayaan etnik, tidak lagi terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), tetapi
menyebar ke dalam diri sastrawan yang berlatar etnis lain, seperti Jawa, Bali,
Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan itu terus berkembang ketika ada usaha untuk
melakukan semacam revitalisasi tradisi dalam kemasan modern. Itulah yang
terjadi dalam perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an, dan terus
berlanjut sampai sekarang. Timbul pertanyaannya: mengapa masalah kultur etnik
jarang disinggung para pengamat sastra yang membincangkan novel-novel awal
Balai Pustaka?
Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi
hal tersebut. Pertama, terjebak oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang
diterapkan pada Balai Pustaka. Cara pandang kolonial itu pula yang menempatkan
sastra sebagai produk elitis, dan menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan
roman picisan (: bacaan liar). Kedua, terkungkung oleh cara pandang
strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih, pendekatan struktural ini mendominasi
pengajaran sastra di berbagai peringkat pendidikan. Akibatnya, karya sastra
yang sesungguhnya menyimpan kekayaan kultur etnik, tidak dapat lebih jauh
dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan kebudayaan yang melingkari diri
pengarangnya.
Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa
dan budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak
memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan seolah-olah tak
bersentuhan dengan budaya lain; juga merupakan kenyataan yang sangat mungkin
sewaktu-waktu dapat menjadi masalah serius, seperti terjadi di Sambas, dan
beberapa daerah lain. Bahkan, jika ihwal etnisitas ini diangkat secara
berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah gerakan, ia malah menjadi ancaman bagi
keutuhan integrasi bangsa, seperti diperlihatkan Aceh dan Papua. pemahaman dan
usaha mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya
menjadi sangat signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi
bangsa tadi.
Mengingat kesusastraan Indonesia secara
kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung
atau tidak langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia
yang pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu,
mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya
dianggap sebagai usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain,
dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.
Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan
kesukubangsaan dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah
adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan
identitas etnis dan agama. Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda
dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada
kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu,
usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang
dan fleksibel. Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.
Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai
pintu masuk menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat
di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan
konflik etnik dan agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat
beberapa daerah yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam
kerangka negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Kinilah
saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan
kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa
pada pemahaman keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan
mempertimbangkan beberapa faktor berikut, tak berlebihan jika gagasan ini
dicobakan.
Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini, sastrawan
Indonesia sebenarnya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya. Suara
Alisjahbana yang menekankan orientasi ke Barat, tak sepenuhnya diikuti
sastrawan lain masa itu. Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang
yang mengaku sebagai ahli waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam
karya-karya yang dihasilkan para perumus pernyataan itu.
Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku
bangsa di wilayah Nusantara merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan
dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja
karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural
atas budaya etniknya. Dari Minangkabau, dapat disebut nama-nama Chairul Harun,
Warisan (1979), Darman Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi,
Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo,
2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo
Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar
Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto dalam
antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu
dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000),
Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari
kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron,
Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan
jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur
Papua (Asmat), Namaku Teweraut (2001), Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali,
Bila Malam Bertambah Malam (1971: II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi
(2000) karya Oka Rusmini. Tentu masih banyak nama dan karya lain yang belum
disebutkan yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi
pengarangnya. Karya-karya itu sangat pantas menjadi bahan awal untuk
memperkenalkan berbagai kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini.
Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta,
seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah
memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam
hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu
memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan
latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan
Indonesia. Yang menarik adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat
dari perspektif kultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman
dan pluralitas.
Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan
peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku
bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan
Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Kondisi ini
makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat
dalam diri sastrawan Indonesia.
E. Perkembangan
Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi
Kita tengah
memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi.
Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan
pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan
dunia.
Arus
globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim (1990) menimpa
empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan
itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK.
Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang dapat kita amati penyatuan
pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi
global yang praktis telah mencakup sebagian wilayah di dunia ini tanpa mengenal
batas. Gelombang ketiga, yakni masalah lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi
pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia,
Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya. Gelombang
keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada lagi suatu negara
yang hanya memeprtaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.
Arus
globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang dalam waktu-waktu yang
akan datang akan terjelma dalam perilaku sosial, baik perilaku sosial
bermasalah maupun perilaku sosial yang positif . Kenyataan menunjukkan di
mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing,
persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki persaingan global.
Arus
globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan
penghidupan manusia sejagat. Pengaruh itu, anara lain akan terlihat dalam
bidang pendidikan dan kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia
pendidikan adalah masalah identitas bangsa.
Kalau kita
berbicara identitas bangsa, mau tidak mau kita akan berbicara tentang
kebudayaan, dan kalau kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau kita
akan mempersoalkan bahasa. Itu sebabnya Makagiansar (1990) menekankan perlunya
kesadaran tentang identitas budaya, bahkan Emil Salim (1990) menyatakan upaya
mempertahankan identias merupakan prioritas yang harus diperjuagkan mati-matian
dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material dan spiritual. Pengaruh
arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari sikap
lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing (disingkat BA) daripada penggunaan
BI, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan kegiatan
tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis. Syukurlah
sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil langkah-langkah nyata mengganti
kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.
Fenomena
paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya
proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai
gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan
gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula
pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian
kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada
penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).
Proses
globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian
diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan
itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun
benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di
dalam proses perubahan.
Bagaimana
dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra
Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan
kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia
dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?
Mitos
yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan
membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati
diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau
kekuatan budaya global.
Anggapan
atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi
komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak
berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan
kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam
bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari
fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan
“Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan
kecil dan sedang akan mendominasi”. Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan
pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. “Semakin
kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir
lokal, bersifat global.” Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua
orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan
dengan lebih giat.
Dari
pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap
menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang
penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt
juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era
pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati
karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian
utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat
tempat.
“Berpikir
lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan
menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia,
sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak
akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal)
Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan
proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni
karya sastra Indonesia.
Di
dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa
Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang
kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah
menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian
besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah
“menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang
semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan
bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama
masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa
Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa
Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan
yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak
ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari
masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan
ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan
Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu
terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa
yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk
kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin
termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk
masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu
pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan
bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah
semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah
menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di
Nusantara.
Perubahan
yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi
lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia
marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses
perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh
Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan,
tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di
dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia
yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan
demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra
yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan
bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena
ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan
bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya.
Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki
posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Kalau
merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua
peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra
Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.
Proses
globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang
“pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan
hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe
(suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan
perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi.
Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga,
seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme “pasar”. Pusat
Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik
bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di
dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia
harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga
untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan
dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya
menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah
menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
Di
dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek
perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat
potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan
Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia
Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu
(dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia
harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa
dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya
(global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan
sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.
F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi
Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai
salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa
persatuan yang bisa menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus
ada sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan
untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan
stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik
swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran
televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de
Saussure (1996:360-361) disebut sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam
siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari
dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada
media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena
sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa
dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun
seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard
ware-nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas
kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga. "Dunia yang begitu
luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar,
majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-tengah keluarga dan
di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun
penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok
Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi
swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul
stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala
nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI
lebih terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek
non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian disusul dengan
membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah
dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin
persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yang tanpa arti. Di balik
slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi
berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak
terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di
udara tetap di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan
semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan
negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang
dan waktu dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka
siaran berita televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu
yang sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam
"satu ruang yang sama".
Ada
kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya
menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa
melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio
juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa
melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul kesan
seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di dalam
suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa
dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia
melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia,
atau masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran
TVRI.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan
bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar
menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang
tidak resmi masyarakat Indonesia.
Ø Peristiwa-peristiwa
penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia
a) Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan
sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor
de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat).
b) Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa
Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim
c) Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad
Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
e) Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana
menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
f) Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo..
g) Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
h) Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan
penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen
yang berlaku sebelumnya.
i)
Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan.
j)
Tanggal
16 Agustus 1972 H.
M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia.
k) Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh
wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
l)
Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta.
m) Tanggal 21-26 November 1983
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
n) Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta.
o) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta.
p) Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta.
Ø Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia.
Ø Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik
Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa
di dalam kedudukannya bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat
BI) berfungsi:
a)
Lambang
kebanggaan nasional.
b)
Lambangidentitasnasional,
c) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda
latar belakang sosial budayabahasa.
d)
Alat
perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat Pembinaan dan pengembanganBahasa,1975:5).
Ø Kesusastraan Indonesia secara kultural
merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak
langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang
pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari
sastra Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap
sebagai usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat
pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.
Ø Di dalam proses
globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan
harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi
bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global, Proses globalisasi
kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang “pembinaan”
dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi
bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang
mengglobal.
B.
Saran
Kritik dan saran
yang membangun, kami harapkan untuk perbaikan dan kemajuan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
·
www.nawala.com
·
www.mahayana-mahadewa.com
·
http://CARI/ILMU/ONLINE/BORNEO.htm
·
http://
Gomarthe5’s Weblog.com
·
http://
Indonesia\bahasa-identitas-bangsa.html
·
Rosihan,
Anwar. 1991. Bahasa Indonesia dan Media
Massa Elektronika. Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia
Penyelenggara.
·
Rohmadi,
Muhammad dkk. 2009. Bahasa Indonesia
untuk penulisan karya tulis ilmiah. Surakarta: Media Perkasa